Peraturan mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 35 ayat (1) yang menjelaskan bahwa “HGB adalah hak seseorang untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang bukan milik sendiri” kemudian jangka waktu berlakunya HGB dalam PP No. 18 Tahun 2021 Pasal 37 Ayat (1) adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang selama maksimal 20 tahun, sehingga totalnya menjadi 50 tahun. Sebelum jangka waktu 50 tahun ini selesai, pemegang HGB dapat memperbarui haknya untuk jangka waktu 30 tahun selanjutnya. Lantas apakah itu SHGB? Sertifikat Hak Guna Bangunan atau disingkat SHGB adalah sertifikat atas hak dan kewenangan untuk membangun bangunan diatas lahan yang bukan miliknya. Jadi dengan adanya SHGB ini, pemilik dapat membangun bangunan diatas tanah negara atau milik perorangan. Namun, SHGB ini hanya berlaku atas bangunan saja, tidak termasuk tanah dimana bangunan itu berdiri.
Pada kesempatan kali ini kami dari Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang mengampu magang di Artono, Wahab & Associates yang yang beralamat di Jl. Taman Raden Intan, No. 96, Arjosari, Blimbing. Kota Malang. dengan DPL Legar Reza Imanu, S.H. dan DPM Cindy Monique, S.H. adapun kami Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang menjalankan studi magang di kantor Hukum Artono, Wahab & Associates beranggotakan lima orang antara lain, Indri Hauliah Putri, Zaki Erlangga, Dava Reihan Saputra, Satria Candra Hidayat, Novalita Ratu KAZ.
Dalam diskusi kali ini, terdapat suatu isu hukum yang menarik untuk dikaji nih. Dimana seorang debitur sebut saja A dan seorang kreditur merupakan salah satu Bank B telah melakukan perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan objek berupa sebuah rumah dan sudah dibalik nama pada Sertifikat Hak Guna Usaha (SHBG) atas nama A. Kemudian Si A telah melakukan kewajibannya berupa menyelesaikan atau melunasi kredit KPR, sehingga Bank B harus memberikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) kepada A setidaknya pada saat waktu pelunasan telah dilakukan. Namun sayangnya, Bank B selaku kreditur tidak kunjung memberikan SHGB milik A hingga membuatnya harus pulang-pergi untuk bertemu Bank B untuk meminta SHGB miliknya. Setiap bertemu dengan Bank B, ia selalu memberikan alasan bahwa SHGB milik si A berada di pihak lain yaitu si C yang merupakan notaris. Kemudian si C, , menyatakan bahwa SHGB milik A tidak berada di kantornya. Oleh karena tidak kunjung ada kejelasan dari pihak B mengenai keberadaan SHGB milik A maka si A kemudian menunjuk lawyer dari kantor hukum Artono, Wahab & Associates sebagai Kuasa Hukumnya untuk membela kepentingan dan hak yang dirugikan oleh Bank B.
Dari isu hukum diatas, dapat diketahui bahwa si B dan si C ini telah melakukan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad. Berdasarkan pasal 1365 KUHPer menjelaskan bahwa “Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Berdasarkan kronologis tersebut, bagaimana upaya yang dapat ditempuh? terdapat 2 (dua) cara, diantaranya :
Pertama, Pihak B selaku kreditur yang dianggap telah menghilangkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) perlu melakukan permohonan pembuatan sertifikat pengganti melalui Kantor Pertanahan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 57 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi: “Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertifikat baru sebagai pengganti sertifikat yang rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertifikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi”. Bilamana sertifikat pengganti telah dinyatakan terbit maka sertifikat yang lama akan dibatalkan atau telah dianggap tidak berkekuatan hukum. Adapun prosedur permohonan sertifikat pengganti berdasarkan Pasal 59 PP No. 24 Tahun 1997 diantaranya:
- Permohonan penggantian sertifikat yang hilang harus disertai pernyataan di bawah sumpah dari yang bersangkutan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk mengenai hilangnya sertifikat hak yang bersangkutan.
- Penerbitan sertifikat pengganti didahului dengan pengumuman 1 kali dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon.
- Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak hari pengumuman penerbitan sertifikat pengganti tidak ada yang mengajukan keberatan mengenai akan diterbitkannya sertifikat pengganti tersebut atau ada yang mengajukan keberatan akan tetapi menurut pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan keberatan tersebut tidak beralasan, maka diterbitkan sertifikat baru.
- Jika keberatan yang diajukan dianggap beralasan oleh Kepala Kantor Pertanahan, maka ia menolak penerbitan sertifikat pengganti.
- Dalam dilakukannya pengumuman dan penerbitan serta penolakan penerbitan sertifikat baru perlu dibuatnya berita acara oleh Kepala Kantor Pertanahan.
- Sertifikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon diterbitkannya sertifikat tersebut atau orang lain yang diberi kuasa untuk menerimanya.
Permohonan pembuatan sertifikat pengganti tersebut ditanggung oleh Pihak Bank B selaku kreditur yang telah lalai dan abai dalam perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Hal ini bertujuan untuk pemulihan terhadap hak-hak dan kerugian material yang diterima oleh Pihak A selaku debitur.
Kedua, namun apabila upaya hukum pertama ditolak oleh Pihak B, maka Pihak A dapat melakukan upaya hukum berupa mengajukan gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) kepada Pihak Bank B di Pengadilan Negeri Malang untuk menuntut hak-hak serta ganti rugi atas kerugian materiil yang timbul, sehingga pihak Bank B dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah lalai atau abai dalam perjanjian yang telah disepakati dengan dasar hukum Pasal 1365 KUHPer yang menjelaskan bahwa “Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Sedangkan mengenai kekuatan hukum antara sertifikat pengganti dengan sertifikat sebelumnya memiliki kekuatan hukum yang sama dan pada saat pelaksanaan penerbitan sertifikat apabila tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya dalam waktu yang telah ditentukan Undang-undang maka Kantor Badan Pertanahan Nasional dapat menerbitkan sertifikat pengganti tersebut kepada pemohonnya (sesuai Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Berdasarkan uraian-uraian diatas lah para pihak dapat mempertimbangkan sebagai upaya mencari jalan keluar permasalahan yang sedang terjadi sebagaimana telah dijelaskan secara jelas dan terperinci diatas.
Editor: Fadhila Naili Z. (UC Neli)